Langsung ke konten utama

Makanan Tradisional Indonesia: Bagian 1

Indonesia memiliki 1430 suku bangsa dan 300 kelompok etnis yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Beragamnya budaya lokal dan berbaurnya budaya asing yang masuk ke Indonesia menghasilkan berbagai jenis kuliner tradisional yang menarik untuk diulas di post berikut ini.

Kaledo
Image result for kaledo dalam kelapa

Kaledo merupakan ikon kuliner kota Palu. Kaledo berarti kaki lembu Donggala. Etnis Kaili dan Kulawi lah yang membuat hidangan kaledo ini. Etnis Kaili dan Kulawi hidup sejak masa pra sejarah atau menganut paham animisme. Pada masa itu, masyarakat Lembah Palu dengan segala kondisi geografis yang didominasi perbukitan dan hutan, sehingga banyak hewan yang tinggal dilembah ini. Keunikan dan keutamaan kaledo adalah pada sunsum yang terletak pada bagian tengah tulang kaki sapi. Pada masa itu, masyarakat animis Lembah Palu telah mampu menciptakan satu resep masakan, dengan bahan dasar potongan kaki hewan, yang diolah secara sederhana. Sederhana, karena bumbu utama yang dibutuhkan hanyalah asam muda, garam, cabe segar (diutamakan yang masih hijau), serta satu jenis tumbuhan yang dominan hidup di lereng-lereng pegunungan, orang Kaili menyebut dengan Tava Nusuka. Pada masa itupula, kaledo yang dibuat masyarakat etnis Kaili, berbahan dasar potongan kaki berbagai jenis hewan, seperti kaki kambing atau kaki babi hutan.  Setelah masuknya ajaran Islam pada abad ke-16, bahan dasar Kaledo juga ikut berubah hanya dengan memanfaatkan kaki sapi/ kambing. 

Awalnya, kaledo merupakan makanan kerajaan yang disajikan kepada tamu-tamu raja saat ada jamuan. Dalam jamuan makan tersebut, para tamu dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan status sosialnya. Para bangsawan boleh duduk bersama raja di dalam ruangan, namun untuk rakyat menengah cukup makan di teras rumah, sedangkan rakyat biasa makan di halaman rumah. Selama acara tersebut, jika pembesar belum selesai makan, peserta pun tidak boleh berhenti makan. Jika ingin berhenti, syaratnya adalah tidak boleh mencuci tangan. Tamu yang melanggar akan terkena denda yang disebut dengan Kivu atau Sompo. Sangsi atau denda bisa berupa sejumlah uang atau hewan ternak seperti Kerbau, besaran denda disesuaikan dengan kondisi ekonomi peserta

Masyarakat Palu pada saat itu memasak satu potong penuh ekor sapi atau kambing, sedangkan masa kini kaki sapi yang dimasak telah dipotong-potong terlebih dahulu. Kesamaannya adalah, tulang kaki yang telah dibersihkan dari kulit, hanya dimasak jika air dalam belanga telah mendidih, agar tulang kaki sapi atau kambing tidak berbau amis. Setelah masak dalam hitungan waktu berdasarkan naluri juru masak, tulang diangkat dan ditiriskan. Begitupun ketika memasak bumbu, seperti garam dan cabe, bumbu yang telah ditumbuh halus baru dimasukan kedalam belanga juga setelah air mendidih. Khusus untuk asam, yang digunakan hanya asam mentah. Asam mentah dimasak terlebih dahulu hingga lunak. Selanjutnya dikupas dan remas kemudian disaring untuk diambil air perasannya saja.

Pada masa kerajaan, kaledo disajikan dalam satu wadah yang disebut Dula Mpanganggu. Hingga saat ini masyarakat Lembah Palu lebih suka menikmati dengan kasubi (Singkong kukus), atau loka pagata (pisang kepok), yang ditempatkan dalam Dula Mpokada atau Dula Palanggu (bakul dari kuningan berkaki). Seluruh masakan yang disajikan dengan alas dan penutup daun pisang. Hidangan tidak dinikmati dengan mencampur langsung seluruh sajian dalam piring, melainkan dengan diisi pada piring atau mangkok kelapa (ri banga nggaluku). Peserta jamuan mengambil sedikit demi sedikit ubi atau pisang, kemudian menyeruput Kaledo ri banga nggaluku. Dengan begitu, masakan tidak akan dikerubuti lalat dan bebas debu. Selain itu, masakan yang tersisa bisa dibawa pulang.

Apem Boyolali
Image result for apem boyolali   Image result for apem boyolali

Kue apem adalah kue khas masyarakat Jawa yang terbuat dari tepung beras, berbentuk bulat, serta bertekstur empuk. Kata “apem” berasal dari Bahasa Arab yang berarti ampunan, namun dijadikan “apem” oleh masyarakat Jawa. Karena itu, apem memiliki makna permohonan apem. Dalam budaya Jawa, kue ini dibuat menjelang bulan Ramadhan. Kue tersebut kemudian diantarkan ke musholla atau masjid-masjid sebagai tanda permohonan ampun sebelum puasa dimulai serta tanda ucapan syukur. Tradisi ini disebut-sebut berasal dari Ki Ageng Gribik atau Sunan Geseng, salah satu murid Sunan Kalijaga. Suatu hari, ia pulang ngaji dan melihat rakyat pedesaan Klaten yang kelaparan. Ia pun membuat kue apem dan membagikannya pada mereka sampai kenyang sambil mengucapkan dzikir Quowiyyu (Allah Maha Kuat). Hal ini memotivasi para penduduk desa Klaten untuk melanjutkan tradisi tersebut setiap sebelum bulan Ramadhan. Tradisi ini tetap dilakukan sampai saat ini di Boyolali seperti yang ditunjukkan pada gambar di atas di mana apem dilemparkan kepada ribuan warga yang menunggu di bawah.

Roti Buaya
Image result for roti buaya  Image result for roti buaya pernikahan

Bagi orang Betawi, buaya merupakan simbol dari kehidupan dan regenerasi. Masyarakat Betawi percaya kepada “siluman buaya”, baik itu Buaya Buntung, Buaya Putih, maupun Buaya Merah yang menjaga sumber air di tempat tinggal mereka. Air dianggap sebagai unsur penting bagi kelangsungan hidup manusia sehingga orang Betawi sangat menghargai air. Mereka begitu menghormati buaya karena dipercaya dapat menjadi pelindung sumber kehidupan mereka. Maka dari itu, buaya dipilih sebagai bentuk dari roti yang sekarang telah menjadi makanan wajib dalam upacara perkawinan adat Betawi. Adanya roti buaya, menandakan bahwa pasangan yang baru menikah akan menjalani kehidupan baru dan membangun generasi baru bersama-sama seperti yang terdapat pada gambar di atas.

Roti buaya ini biasanya dibagikan kepada para tamu undangan yang masih lajang, dengan harapan yang menerimanya segera mendapat jodoh dan menikah. Sebenarnya, roti buaya ini mulai dikenal oleh orang-orang Jakarta pada saat Belanda masuk ke Indonesia dan membawa pengaruh terhadap pemikiran masyarakat asli Jakarta bahwa setiap pernikahan harus memiliki sebuah tanda yang mewakilkan acara sakralnya. Simbol pernikahan yang dimiliki oleh bangsa Eropa pada saat itu adalah bunga. Merasa tak ingin kalah dan tak ingin meniru Belanda, orang Betawi pun berusaha untuk menerapkan simbol yang dibuat sendiri dalam adat pernikahannya.

Roti ini juga memiliki makna sebagai ungkapan kesetiaan pasangan yang menikah untuk sehidup-semati. Makna ini terinspirasi dari perilaku buaya yang hanya kawin sekali sepanjang hidupnya. Selain itu, roti buaya juga menjadi simbol kemampanan ekonomi yang berarti pasangan yang menikah diharapkan juga memiliki masa depan yang lebih baik dan bisa hidup mapan. Bahan dasar roti buaya sangat sederhana, yakni terigu, gula pasir, margarin, garam, ragi, susu bubuk, telur dan bahan pewarna. Keseluruhan bahan tersebut dicampur dan diaduk hingga rata dan halus, kemudian dibentuk menyerupai buaya. Setelah adonan berbentuk seperti buaya, adonan dioven/dipanggang hingga matang. Roti buaya akan dipajang di tengah-tengah ruangan hingga acara pernikahan selesai. Setelah itu, roti tersebut akan ditaruh di atas lemari pakaian di kamar pengantin. Karena roti buaya tersebut keras dan tidak punya rasa, roti ini pun akan tahan lama. Kualitas roti buaya yang tahan lama dilihat dari keras tidaknya roti. Roti buaya akan dibiarkan hingga hancur dan berbelatung di atas lemari. “Inilah yang menjadi perlambang bahwa dua roti buaya simbol suami istri tersebut hanya bisa dipisahkan oleh maut, oleh raga yang sudah berbelatung. Ketika pengaruh Islam di Batavia semakin kuat, barulah roti tersebut dimakan, karena dalam ajaran Islam makanan tidak boleh dibuang-buang. Orang Betawi pun mengkreasikan roti buaya dengan berbagai isian, seperti coklat dan buah-buahan, agar lebih enak dimakan bersama keluarga. Sekarang, tradisi roti buaya dalam seserahan khas Betawi masih terus berlanjut dan sudah didaftarkan menjadi warisan takbenda Jakarta sejak tahun 2014.

Ketupat Lebaran


Ketupat merupakan makanan yang identik dengan Hari Raya Idul Fitri. Ketupat diperkenalkan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga pertama kalinya pada masyarakat Jawa. Pada zaman tersebut, masyarakat Jawa menganyam ketupat dari daun kelapa muda, lalu diisi dengan beras dan dimasak, dan dibagikan ke kerabat yang lebih tua sebagai lambang kebersamaan. Ketupat pun memiliki makna tersendiri. Dalam bahasa Jawa, ketupat merupakan kependekan dari Ngaku Lepat (mengakui kesalahan) atau Laku Papat (= empat tindakan). Untuk mengakui kesalahan, orang Jawa biasa melakukan sungkeman, atau bersimpuh di hadapan orang tua untuk meminta ampun atas kesalahannya. Pada hari raya Lebaran umumnya ketupat disajikan dengan opor ayam, rendang dan sambal kentang.

Dendeng
Related image

Dendeng merupakan salah satu produk olahan daging khas Indonesia dengan menggunakan rempah-rempah sebagai bumbu. Asal usul dendeng juga berakar dari masuknya Islam ke Indonesia. Dalam etnik Aceh, terdapat tradisi Meugang yang dikenal sejak abad ke-17. Sejak dulu, Aceh sudah diwarnai budaya keIslaman. Dalam tradisi menyambut bulan Ramadhan, menjelang Idul Fitri dan menjelang Idul Adha, pihak istana melakukan penyembelihan banyak sapi. Rakyat membeli sapi dalam jumlah besar dan membuatnya menjadi dendeng, dijemur hingga kering, dimakan selama sahur.


Sekian post kali ini, nantikan post makanan tradisional Indonesia berikutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembauran Budaya

Pembauran kebudayaan merupakan proses perkembangan kebudayaan umat manusia mulai dari bentuk-bentuk kebudayaan yang sederhana hingga semakin lama menjadi semakin kompleks, yang dilanjutkan dengan proses difusi yaitu proses penyebaran atau perembesan suatu unsur kebudayaan dari satu pihak kepada pihak lain yang terjadi seiring dengan perpindahan penduduk dari bangsa-bangsa di muka bumi ini. Perubahan dari kebudayaan, baik secara langsung maupun tidak langsung, berpengaruh pada budaya lokal. Hasil dari pembauran budaya juga tercermin dalam makanan tradisional khas Indonesia. Secara umum, pembauran budaya terjadi melalui 2 cara yakni akulturasi dan asimilasi. Akulturasi merupakan suatu perubahan dari suatu kebudayaan sebagai akibat adanya pengaruh dari kebudayaan asing yang terjadi ketika sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur kebudayaan asing (luar). Akibatnya, unsur-unsur asing (luar) lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan ...

Makanan Tradisional Indonesia: Bagian 2

Kue Keranjang Kue keranjang berasal dari budaya Tiongkok yang dibawa dan tersebar dalam keturunan etnis Tionghoa di Indonesia yang memiliki nama Mandarin yakni nian gao, “年” ( nian ) berarti tahun, dan “高” ( gao ) berarti tinggi, sehingga nama kue ini memiliki makna peningkatan dalam kemakmuran. Kue keranjang memiliki bahan dasar tepung ketan dan gula sehingga bertekstur kenyal dan lengket. Di zaman dahulu, rakyat Tiongkok percaya bahwa tempat masak dalam dapur didiami Dewa Tungku, yang bertugas mengawasi kegiatan dapur setiap hari dan melaporkannya pada Raja Surga. Setiap akhir tahun, tanggal 24 bulan 12 Imlek (atau 6 hari sebelum Imlek), Dewa Tungku akan pulang ke surga untuk melaporkan tugasnya kepada Raja Surga. Jadi, untuk menghindarkan hal-hal yang tidak menyenangkan bagi rakyat, timbullah gagasan untuk memberikan hidangan yang menyenangkan atau hal-hal yang dapat membuat Dewa Tungku tidak murka, dalam bentuk kue keranjang. Di Indonesia, kue keranjang dibuat dan dijual...